Selasa, 10 Februari 2009

Cerita Rakyat : Lereng Moeria

II

LERENG MURIA

MALING KAPA

Agama Islam telah menyebar ke seluruh daerah Jawa. Meski penyebarannya ada yang langsung bisa diterima Masyarakat, ada yang mengalami perlawanan dari masyarakat setempat. Demikian juga peran para wali dalam bersyiar di pelosok-pelosok Desa. Sunan Bonang di Tuban, Bonang dan Sekitarnya, Sunan Kali Jaga, Sunan Cirebon, Sunan Kudus, Sunan Muria. Ada di berbagai tempat, mereka menyebarkan agama dengan mencoba menggabungkan unsur-unsur budaya yang berkembang di daerah setempat. Nama Sunan biasanya disesuaikan dengan tempat ketika ia mengajarkan agama. selain sebagai kepala agama juga sebagai kepala pemerintahan. Sehingga penggantinya tetap menggunakan nama Sunan.[1]

Demikian juga dengan Sunan Muria yang mengadakan syiar agama Islam. Disekitar Muria yaitu pantai utara daerah Jepara, Tayu, Pati, Juana, Kudus dan lereng-lereng Gunung Muria. Dalam menyebarkan agama Islam seringkali bersinggungan dengan penguasa2 setempat. Penyebaran Islam telah memasuki sekitar wilayah Pati, Juana, Tayu.[2]

Pada suatu hari diadakan Syukuran di rumah Ki Ageng Ngerang[3] untuk mensyukuri kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan kepada hambanya yang ada di muka bumi terutama wilayah lereng Muria. Perhelatan dimulai dengan khidmatnya. Tamu dari jauh dan dekat telah lengkap datang. Ki Ageng Ngerang sebagai orang yang paling dituakan karena kearifan, kepandaiannya, sehingga banyak yang hadir dalam perjamuan tersebut. Terutama para muridnya Sunan Ngerang, antara lain termasuk Sunan Kudus, Sunan Muria, Adipati Parthak Warak dari Pulau Mandalika Jepara, Kapa dan adiknya Gentiri dan lain-lainnya.[4]

Ketika anak Ki Ageng Ngerang, Roroyono bersama adiknya, Roro Pujiwati ke luar untuk menghidangkan minuman dan makanan, banyak tamu yang hadir terpesona dan memuji keduanya, tak disangka bahwa Ki Ageng Ngerang memiliki dua putri yang sangat cantik-cantik. Adipati Pathak Warak matanya tak berkedip memandanginya. Detak Jantungnya berdebar seperti beduk, badannya menggigil, panas dingin, kedua bibirnya berdeming, melihat keanggunan Roroyono. Terasa ada sinar bulan terang yang menerangi kenduri malam itu. Roroyono menjadi menjadi pusat perhatian, sebagai Gadis yang paling cantik di malam itu

Adipati Pathak Warak tak bisa menahan nafsu, melihat gadis jelita. Matanya tak berkedip, jangkunnya naik turun menelan ludah, kata-katanya sudah tak terkontrol lagi.

“Mau tidak jadi istriku, rayi!” sambil mencolek pantatnya. prilakunya, sudah tidak mengindahkan lagi adat ketimuran maupun tatananan agama.

“Jangan begitu kakang, banyak orang jaga kehormatan kakang”

Tentu saja Roroyono merasa terhina diperlakukan kelewat batas. Alangkah malunya dia tercolak-colek dihadapan banyak tamu-tamu Ki Ageng. Minuman yang dibawa Roroyono itu tumpah mengguyur baju Pathak Warak. Sehingga Wajah sangar itu merah padam, merasa dibuat malu oleh Roroyono.

“Jangan gitu Kakang Pathak Warak, Roroyono gak mau orang yang kasar, maunya yang halus budinya” ejek Kapa

Para tamu yang hadir menertawakan Pathak Warak. Dalam hati Adipati berkata, seandainya bukan puterinya Kanjeng sunan Ngerang, Gurunya, tentulah telah ditampar mukanya. Seperti yang pernah dilakukan pada musuh-musuhnya. Patak Warak merupakan salah satu jawara yang lalu lalang di Lereng Muria, karena kesaktiannya ia memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi.

Malam semakin larut, semua tamu yang hadir berangsur-angsur pulang meninggalkan kediaman Ki Ageng Ngerang. Sementara para tamu jauh termasuk Adipati Pathak warak, masih berada di rumah Ki Ageng, mereka bermalam di ruang tamu. Pada tengah malam yang dingin, dan hanya suara jangkrik, suara kodok berpadu dengan semilir angin yang dihembuskan pucuk-pucuk bambu. Semua telah tertidur pulas. Kecuali Adipati Pathak warak yang masih terngiang-ngiang kata-kata Roroyono, dan malunya ketika segelas air mengguyur bajunya. Ia memikirkan bagaimana caranya agar bisa membuat malu Roroyono, sekaligus bisa segera melampiaskan nafsu birahinya. Ia mengidam-idamkan agar dapat memperistri Roroyono.

Adipati Pathak Warak mondar-mandir didepan pintu sambil tangannya menggaruk-garuk kepalanya. Timbul niat jahat dibenaknya, ia mau menculik Roroyono. mulutnya komat-kamit membaca mantra, keluarkan mendung tebal untuk menyirep seluruh penghuni rumah Ki Ageng Ngerang. Ia mengendap-ngendap masuk kamar Roroyono, membekap mulut Roroyono kemudian digendong dibawa lari menuju hutan belantara. dibawa lari ke Pulau Mandalika, Keling.

Keesokan harinya gemparlah rumah Ki Ageng, semua sibuk mencari keberadaan Dewi Roroyono, Ki Ageng Ngerang mengumpulkan semua orang ke teras rumah, satu persatu ditanyai namun semuanya tidak tahu keberadaan Dewi Roroyono, para murid padepokan yang dibantu masyarakat setempat mencari di sekitar rumah sampai ke seluruh kampung, namun hasilnya nihil. Mereka pulang dengan kekecewaan.

Para murid-murid Ki Ageng kumpul untuk membicarakan tentang raibnya Dewi Roroyono, mereka satu persatu memberikan analisa dan dugaan tentang sebab-musabab hilangnya putri Ki Ageng. Semua ikut urun rembuk kecuali salah satu murid yang tidak kelihatan batang hidungnya. mereka tidak menjumpai Patahak warak

“Kalau begitu yang membawa lari Roroyono adalah Patahak Warak!” Ki Ageng Ngerang berkesimpulan bahwa Patahak Warak mau membalas sakit hatinya karena dipermalukan Dewi Roroyono di depan umum. Ia termenung lesu diteras rumahnya, memikirkan nasib anaknya. Demikian langit membawa mendung hitam seakan paham hati Ki Ageng yang sedang gundah gulana.

“Akan dibawa kemana Anakku Roroyono?” rintik hujan senja hari semakin membuat perasaan Ki Ageng teriris-iris. Murid-muridnya juga was-was bila nanti sampai gurunya sakit memikirkannya. Ki Ageng Ngerang kemudian memanggil Sunan Muria untuk meminta pendapatnya, sebab Ia yang akan dijodohkan dengan Dewi Roroyono, selain itu Sunan muria merupakan murid kesayangannya

“Bagaimana Nak mas Sunan Muria, tindakan apa yang harus aku ambil?” sorot mata lelaki tua yang tengah bersedih menatap iba Sunan Muria. Mereka berdua berdiskusi bagaimana langkah baiknya menghadapi persoalan ini.

Ki Ageng mengumumkan sayembara, barang siapa yang dapat merebut kembali puterinya dari tangan Patak Warak, dan membawa kembali Dewi Roroyono ke Ngerang, bila lelaki akan nikahkan dengan Roroyono, bila perempuan akan dijadikan saudara

Setelah sayembara diumumkan, semua muridnya Sunan Ngerang terdiam tidak ada yang berani tunjuk jari, mengajukan diri. Mereka tidak berani melawan Adipati Patak Warak. Di samping karena ia sakti juga Patak warak dikenal sebagai Raja tega. Siapapun yang menghalang-halangi maksudnya akan dibabad habis. Hanya Sunan Murialah yang mengacungkan tangannya, ia sanggup mengejar Adipati Pathakwarak dan merebut kembali Roroyono. Ia pamit langsung menuju ke arah utara, ia diikuti oleh beberapa murid Sunan Muria, selang beberapa saat Kapa dan Gentiri juga mohon diri mau menyusul Sunan Muria.

Sunan Muria keluar masuk Hutan belukar yang belum pernah dijamah manusia pun ia melewati perjalanan demi membuktikan rasa hormatnya kepada Gurunya Ki Ageng Ngerang. Namun dalam perjalanan ke Mandoliko, ditengah jalan ia bertemu dengan kappa dan gentiri. mereka bertiga saling berangkulan, Dalam pembicaran tersebut terjadilah kesepakatan, bahwa Kapa dan Gentirilah yang akan menunaikan tugas, menjalani sayembara merebut Roroyono ke Mandaliko. Adapun bila nanti berhasil dalam tugas yang berhak memiliki Dewi Roroyono adalah kanjeng Sunan Muria. Kesepakatan tersebut disepakati ketiga murid Ki Ageng Ngerang. Hal ini disepakati karena Kapa dan Gentiri adalah muritnya Sunan Ngerang yang termuda. Dan keduanya bersedia berbuat demikian karena menghormati Sunan Muria, sebagai murid yang senior, berwibawa dan terhormat dimata masyarakat seantero jagat..

Berangkatlah Kapa dan Gentiri menyeberang Ke Pulau Mandaliko. Sementara Sunan Muria kembali ke padepokan Muria Ia Pasrah dan mempercayakan penuh nasib Dewi Roroyono kepada keduanya. Dari kejauhan Kapa dan Gentiri diawasi oleh Anak buah Patak Warak, mereka melaporkan bahwa dua orang yang mencurigakan memasuki kawasan Pulau Mandaliko. Patak warak menyuruh anak buahnya membiarkan kedua orang itu. Patak Warak tahu bahwa yang datang adalah adik seperguannya.

“Suruh mereka kesini, dia adalah adik seperguan saya” pinta Patak warak. Mereka masuk pintu gerbang padepokan Mandaliko dan dipersilahkan duduk di teras rumah, kemudian keluarlah Patak Warak.

“ada apa di, Kok janur gunung (tumben) mau singgah ke Padepokanku?”

“Iya, kami kesini mau menikmati keindahan Pulau Mondoliko” Kilah Kapa dan Gentiri. Namun Patak Warak mencium bau tidak beres pada kedua adik perguruannya. Ia mempersilahkan keduanya untuk masuk ke dalam rumah. Kapa dan Gentiri melihat-lihat seisi rumah ternyata tidak diketemukan keberadaan Dewi Roroyono. Mereka terus menyelidiki Padepokan Mondoliko. Karena kelehan dan setengah putus asa, ia menunda penyelidikannya. Ia beristirahat di bawah pohon Setigi (Dewa ndaru).

Ditengah ia tertidur, Kapa mendengar suara merintih dari rumah Patak warak bagian belakang. Ia membangunkan adiknya untuk segera menyelidiki arah suara tersebut. Dari celah-celah tembok bambu mereka melihat Roroyono yang sedang disekap di kamar belakang. Patak Warak mencoba merayu Roroyono agar mau dijadikan istri, ia memberontak melepaskan tangan kekar Patak warak. Jeritan minta tolong itulah yang membuat Gentiri tergerak hatinya untuk mendobrak pintu dan menyambar tubuh Roroyono dibawa kabur. Sementara Kapa menghadapi Patak Warak.

“kakang sudah kelewat batas, tidak mengenal belas kasihan sama sekali, beraninya sama wanita”

“kamu jangan ikut campur urusan ini, kembalikan Roroyono padaku!” bentak Patak Warak memecah keheningan malam. Mereka berdua bertempur di belakang rumah, sementara Gentiri yang menggendong Roroyono berlari masuk hutan.

Kapa kalah dalam kanuragan, posisinya terdesak, anak buah Patak warak juga ikut mengepung. Dalam keadaan tersudut ia berjongkok mengambil segengam Pasir kemudian ditaburkan di mata Patak Warak dan anak buahnya. Kapa lari mengejar Gentiri, di pinggir laut, akhirnya ketemu di pelabuhan penyebrangan. mereka melihat perahu yang ditumpangi saudagar bernama Lodhang Datuk. Ia meminta bantuan agar boleh ikut naik parahu menuju ke Pulau Jawa.

“Kenapa kamu tergesa-gesa Ki sanak” Lodang Datuk menarik tangan Roroyono ke atas perahu.

“Saya di kejar-kejar Patak warak yang mau merampok dan memperkosa saya” rengek Roroyono meminta pertolongan.

Lodang Datuk seorang saudagar yang tidak senang bila ada kesewenang-wenangan menindas rakyat kecil.

Dalam memperebutkan Roroyono dari tangan Adipati Pathak warak itu Kapa dan Gentiri mendapat bantuan dari seorang Wiku Lodang datuk di pulau seprapat, Juana. Ia menyuruh anak buahnya membawa mereka bertiga ke Pulau Jawa, sementara ia menghadapi Patak warak dengan perahu kecil. Berlangsunglah pertempuran ditengah laut antara Lodang datuk ditengah lautan. Sampai menuju daratan Jawa. Akhirnya Patak Warak tewas. Kemudiaan Lodak Datuk menyusul menuju Pulau Sprapat.[5]

Maka berhasilah Kapa dan Gentiri membawa kembali sang Dewi Roroyono ke Ngerang. Untuk menghargai jasa dari Maling Kapa dan Maling Gentiri, mereka mendapat hadiah dari Ki Ageng Ngerang, berupa wilayah di Buntar, yang mana keduanya orang itu menjadi penguasa tanah tersebut. sedangkan Dewi Roroyono jadi diambil istri Sunan Muria.

Hidup manusia selalu berputar, Demikianlah hati Gentiri. Dahulu yang dengan relanya menyerahkan tenaganya demi menghormati kesenioran dan kewibawaan Sunan Muria, Gentiri membopong Roroyono sampai ke Ngerang. Gejolak Hati, bersemi laksana kuncup tersirami hingga tumbuh menjadi bunga-bunga cinta. Alur hidup tak selurus anak panah, tetapi setiap saat berubah. Tentu saja perubahan itu terkadang menyimpang di tengah perjalanan.

Perasaan Gentiri dipenuhi dengan bunga hati dan perasaanya sekarang hanyalah Dewi Roroyono, seorang gadis yang mempesona, yang selalu menghias mimpi-mimpinya, Kisah cinta gayung bersambut antara Gentiri dengan Roroyono,namun keadaanlah yang membuat lain. Ia harus rela melepas Roroyono kepada Sunan Muria. Siang malam selalu terbayang wajah cantik Roroyono, sehingga mengganggu tidurnya disetiap malam dan mengganggu kerja disetiap saat.

Gentiri tak mampu membendung rasa rindunya kepada Roroyono, ia akan merebut Roroyono dari Sunan Muria. Sudah barang tentu tindakan ini adalah suatu pengkhinatan janji dan sumpah pada Ki Ageng Ngerang. Dan mengkhianati persaudaran dengan Sunan Muria. Namun apa mau dikata bila niat jahat telah mengalahkan pertimbangan batin yang bening. Keinginan nafsu yang amat besar untuk dapat memiliki Roroyono.

Ketika sore mulai merembang, burung-burung pulang ke sarang hanya desau angin yang mengitari puisi hati, berangkatlah Gentiri menemuai sang pujaan hati di Padepokan Muria. Ia Memakai baju hitam, dan memakai cadar agar tidak dikenali sama Murid Padepokan Muria.

Ketika tengah malam Gentri mengendap-endap memasuki taman kaputren. Di ketuknya daun pintu pelan-pelan.

“Diajeng..Roroyono..ini Kakang Gentiri!”

Roroyono terbangun setelah mendengar panggilan Gentiri dari luar kamarnya. Mereka bertemu sambil menggemgam jemari dua insan yang tengah dilanda asmara. Namun tangan Roroyono buru-buru dilepaskan takut ketahuan Sunan Muria.

“Sudahlah kakang..kita cukup sampai disini saja, saya sudah milik orang lain aku tidak mau gara-gara saya, Romo marah. Terus persahabatan kakang dengan Sunan Muria rusak.”

“aku tidak peduli, aku tidak bisa hidup tanpamu, diajeng!”

“bukan kakang sudah tahu bagaimana sakitnya bila dikhianati, kenapa kakang harus mengkhianati persabatan yang telah kakang bangun lama sekali, hanya karena saya kakang harus bermusuhan dengan Romo dan Kakang Sunan Muria. Apakah itu bagus kakang! Aku tidak mau jadi durhaka sama Romo, aku juga tak mau menyakiti hati Kakang Sunan Muria.”

Putus sudah harapan Gentiri, kini ia dihadapkan pada dua dilemma yang harus dipilih, lari dengan Roroyono tapi harus berperang melawan Sunan Muria dan Ki Ageng Ngerang, atau mengalah membiarkan Roroyono bersama Sunan Muria, namun batin kecilnya memberontak. Gentiri bersikukuh memilih pilihan pertama, melarikan Roroyono, namun baru keluar pintu kaputren ia dipergoki oleh Pengawal kaputren Sunan Muria. Terjadilah perang tanding, Gentiri dikroyok oleh ratusan murid-murid Sunan Muria. Tewaslah Gintiri di padepokan Muria.

Berita kematian maling (pencuri) berkerodok yang ketangkap di Padepokan Muria. Ia mati diadili oleh massa, setelah dibuka cadarnya ternyata Gentiri murid dari Kia Ageng Ngerang. Hal ini membuat Maling Kapa berang, Gentiri adalah adik seperguruan dan adik kandung Kapa, ia tidak terima bila adiknya diperlakukan seperti itu.

Maling Kapa terus berangkat ke Muria dengan tujuan ingin membalas kematian adiknya. Selain itu Ia juga akan mencuri Dewi Roroyono. Dan kali ini berhasil. Roroyono dibopong di pundak Kapa yang kekar. Ia dibawa lari ke Pulau Seprapat. Murid- murid padepokan Muria mengejar sampai ke lereng Muria sampai ke Desa Juana, mereka mau menyebrang ke Pulau Sprapat.

Maling Kapa mau menyembunyikan Roroyono ke Lodhang datuk. Namun Lodhang datuk bersikap arif dan bijaksana. keputusan yang adil dari wiku lodhang datuk itu tidak diterima baik oleh kapa.bahkan Kapa mencaci Sang Wiku, yang sudah dianggap gurunya sendiri. Ia potes atas perlakuan tidak adil terhadap Maling Gentiri.

Ketika itu m,urid-murid Padepokan telah sampai di Pulau Seperapat.salah seorang murid Sunan Muria menantang Maling Kapa. Sehingga terjadilah pergulatan antara kedua kesatria tersebut, dan matilah Kapa yang menjadi Maling (pencuri) itu. Akhirnya Lodang datuk menyerahkan Dewi Roroyono kepada Ki Ageng Ngerang. Oleh Ki Ageng Dewi Roroyono diserahkan kembali ke Padepokan Muria dengan selamat, ia berkumpul lagi dengan suaminya kanjeng Sunan Muria.

GERBANG MAJAPAHIT

Pada sebuah desa yang terpencil hiduplah Seorang janda bernama Randasari yang memiliki anak laki-laki yang tampan, trampil dan gesit. pemuda enerjik ini juga memiliki ilmu kanuragan. Ia sangat menonjol diantara teman-temanya. Ia bernama Kebo Anabrang.[6] Ia suka menolong bila teman-temannya mendapat kesusahan. Namun balas budi yang seharusnya diterima oleh Kebonabrang tidak pernah didapatkan. Meski Kebonabrang tulus dan tidak pamrih dalam membantu masyarakat sekitarnya.[7]

Masyarakat selalu mencemooh Kebonabrang sebagai anak lampoar, anak jadaah yang tidak diketahui bapaknya. Kebonbrang menghadapi dengan tambah, karena pesan ibunya Rondhosari untuk tidak melawan orang yang mencemoohnya,

“biarkan saja semua menghinamu Nger! Nanti juga mereka capek sendiri.”

Pada awalnya Kebonabrang menuruti semua pesan Ibunya, namun lama kelamaan hatinya tak kuat juga. Kebonabrang marah ketika seorang pemuda mengatakan bahwa dirinya adalah anak hubungan gelap yang tidak pernah dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Panaslah kuping Kebonabrang, bergegas pulang ke rumah, daun pintu ditendang hingga roboh.

Nyai Rondhosari yang tengah di dalam rumah bergegas keluar, mendengar suara keras pintu yang roboh.

“Ada apa Ngger, sabar..sabar!” bujuk Nyai Rondosari dengan memegangi kedua tangannya.

“saya ini anak siapa?, saya ngak mau kalau biyung bohong lagi, saya mau biyung jujur mengatakan sebenarnya!”

“sekarang kamu sudah dewasa dan sudah saatnya kamu tahu sebenarnya siapa dirimu Ngger! Sebenarnya kamu adalah Putra dari Sunan Muria” Nyai Rondosari menerangkan sedetail-detailnya asal-usulnya Kebonabrang.

Berbekal cerita yang diperoleh dari Nyai Rondhosari maka berangkatlah Kebonabrang ke Padepokan Muria. dengan sopannya ia menghadap Kanjeng Sunan Muria. Ia mengaku sebagai anak dari Kanjeng Sunan Muria. Dan ia mau berguru kepada Kanjeng Sunan. Sejak kecil memang dia tidak pernah melihat ayahhandanya karena dirahasiakan oleh Nyai Rondosari, baru setelah dewasa ini dia diberitahu oleh ibunya bahwa ayahnya adalah seorang Sunan, yakni Sunan Muria. Akan tetapi pengakuan sang pemuda itu ditolak keras oleh Sunan Muria. Beliau berkata bahwa beliau tidak merasa mempunyai anak yang bernama Kebonabrang.[8] Sebab Ia hanya memiliki seorang anak dari Dewi Roroyono.

Meskipun Sunan Muria menolak pengakuan sang pemuda, Kebonabrang tetap diperbolehkan berguru di Padepokan Muria. Hal ini menjadi kesempatan yang bagus untuk meyakinkan Kanjeng Sunan Muria. Walaupun Kebonabrang mambawa bukti-bukti yang dibekalkan ibunya, kanjeng Sunan masih tetap ragu bahwa dia benar-benar adalah putranya.

Kebonabrang terus menerus mendesak, maka Sunan Muria akhirnya bersedia mengakui bahwa Kebonabrang adalah puteranya, asalkan dia dapat memenuhi syarat. Syaratnya adalah Kebonabrang harus dapat memindahkan salah sebuah pintu Gerbang yang ada di kerajaan Majapahit ke gunung Muria dalam waktu satu malam saja.[9]

“andai kamu bisa memenuhi syarat itu, kamu saya akui sebagai putraku!”

Kebonabrang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan pengakuan anak oleh Sunan Muria. Berangkatlah ia ke majapahit untuk mendapatkan sebuah pintu gerbang, setelah ia berkeliling di bekas reruntuhan Majapahit, akhirnya dia menemukan sebuah pintu. Ia akan diambilnya sendiri dengan kukuatan sakti yang dimiliki sejak lahir.[10] ia tengah mempersiapkan.mantra-mantra dan juga doa kepada tuhan agar segera dapat mengakat pintu Majapahit

Bersamaan dengan itu di Juana, sebelah timur Pati, diadakan sayembara untuk dapat mempersunting Roro Pujiwati dengan syarat dapat membawa Pintu Majapahit ke wilayah Ngerang. Hal ini diikuti oleh para pemuda yang ada di daerah Ngerang, namun semunya tak sanggup. ada juga seorang pemuda bernama Raden Ronggo[11] adalah putra Kanjeng Sunan Muria dari ibunya Dewi Roroyono. Sunan Ngerang juga mempunyai seorang puteri lagi, adiknya Dewi Roroyono, bernama Roro Pujiwati.

Ia sedang menuju ke wilayah reruntuhan Kerajaan Majapahit dalam rangka mengikuti sayambara memindahkan pintu Gerbang Majapahit. Sayembara tersebut untuk memperebutkan seorang puteri cantik bernama Roro Pujiwati, putrinya Kyai Ageng Ngerang (Sunan Ngerang) Juana.

Raden Ronggo sangat mencintai Roro Pujiwati, kisah cintanya ini diketahui oleh Ki Ageng Ngerang dan Sunan Muria sehingga mereka berdua bersepakat untuk membuat sayembara yang sekiranya tidak dapat dipenuhi oleh Raden Ranggo. Padahal Roro Pujiwati ini adalah bibinya Raden Ronggo sendiri, karena Roro Pujiwati itu adalah adiknya Raden Ayu Roroyono (ibunya Raden Ronggo).

Kehendak Raden Ronggo untuk mempersunting Roro Pujiwati itu ditolak, karena di dalam agama tidak diporbolehkan keponakan menikahi bibinya. Ki Ageng Ngerang dan Sunan Muria berunding Bagaimana cara menolaknya, akhirnya ditemukan cara yaitu dengan mengajukan syarat yang harus dipenuhi, yakni memindahkan sebuah pintu Gerbang Majapahit ke tempatnya Roro Pujiwati di Ngerang, Juana.

Setelah sampai di Majapahit, Raden Ronggo kaget sebab telah ada yang mau membawa pintu Majapahit, Ia kecewa karena dia mengetahui bahwa ada seorang pemuda dari Muria yang membawa lari sebuah pintu gerbang.

“Apakah itu suruhannya Romo untuk menggagalkan syembara ini atau dia juga berkompetisi untuk ikut syembara mempersunting Roro Pujiwati.”

Raden Ronggo tertegun, ia mengawasinya dari belakang, Dengan hati berdebar dia kembali mengejar pemuda yang telah mendahuluinya (yakni Kebonabrang). Ia akan merebut bila sudah dekat dengan Ngerang. Kebonabrang sangat gesit sehingga membuat Raden Ronggo keteteran. Raden ronggo melesat lebih cepat lagi untuk mengejar karena Kebokenongo sudah melewati Ngerang, Raden Ronggo berhenti sebentar mengambil Palang pintu yang terjatuh, ia melesat lagi mengejar Kebonabrang, ia mengira pasti ini usaha romonya untuk menggagalkan syembara.

Raden Ronggo akhirnya dapat mengejarnya setelah Kebonabrang sedang bingung mencari palang pintu gerbang yang terjatuh.

“kamu mencari aoa Kisanak, apa yang hilang?” Kebokenongo melihat Raden Ronggo yang sedang memegang Palang pintu.[12]

“Berikan Palang pintu itu Raden!, saya gak ada waktu, cepat berikan!” bentak Kebonabrang.

Terjadilah kejar mengejar dan bertempur sangat hebat, pergulatan adu kekuatan antara Raden Ranggo dengan murid Sunan Muria memeperebutkan pintu Majapahit,[13] Raden Ronggo ingin merebut pintu itu agar dapat mempersunting Roro Pujiwati, sedangkan Kebonabrang agar dapat diakui sebagai putra kanjeng Sunan Muria.

Pertengkaran antara keduanya diketahui oleh Suro Benggol,[14] sehingga ia harus turun gunung untuk melerai perselisihan ini, tempat ini dianamakan Towelo (cetho welo-welo).[15]

Akhirnya Suro Benggol mampu meredakan pertempuran perang saudara antara sesama Sunan Muria. Dalam kesapakatan itu Raden Ronggo hanya memperoleh sebatang kayu Pathok, atas saran Suro Benggol agar Raden Ronggo mau membawa pulang palang pintu itu ke Ngerang. Tetapi Roro Pujiwati menolak karena syarat yang diminta adalah pintu Gerbangnya. Karena cintanya ditolak, maka Raden Ronggo marah. Roro Pujiwati dipukul dengan kayu pathok dan lenyaplah Roro Pujiwati di tempat itu.[16] Raden Ronggo tidak mau pulang ke Muria atau Ngerang, ia lebih senang mengembara untuk menghibur hati yang sedang sakit.

Kemudian Suro Benggol memperintahkan Kebonabrang untuk segera membawa pintu gerbang Majapahit ke gunung Muria. Karena hari mulai fajar. Segera Kebonabrang bersiap-siap akan Tetapi baru saja diangkat pintunya ayam jantan berkokok bersautan, pertanda hari sudah tiba. Padahal syarat yang harus diminta adalah pintu majapahit harus sudah sampai ke Padepokan Muria sebelum pagi datang. Dan oleh Sunan Muria maka Kebonabrang disuruh untuk menunggu di Pintu Majapahit ini.[17]

***FREEDOM***



[1] Sunan Kudus Sunan Kudus I, Sunan Kudus II

[2] Cerita Lereng Muria adalah Cerita Rakyat yang berkembang didaerah Lereng Muria. Belive or not belive, up to You..?

[3] ini Ki Ageng Ngerang yang keberapa? Sebab banyak Ki Ageng Ngerang ada Ki Ageng Ngerang I, II III atau ke berapa?

[4]Versi Solichin Salam, Sunan Ngerang (Kyai Ageng Ngerang) di Ngerang Juana, malam itu memang sedang melaksanakan hajat syukuran hari ulang tahun puterinya yang sulung bernama Roroyono. Genap ulang tahun kelahirannya yang kedua puluh.

[5]Ada versi lain bahwa pembunuh Patak Warak adalah Maling Kapa dan Maling Gentiri, ada juga versi bahwa Patak Warak masih hidup.

[6]Nama Kebonabrang mirip dengan nama yang pernah memberontak terhadap jaman Majapahit ketika dipimpin Jayanegara.

[7]Gerbang Majapahit adalah cerita rakyat yang berkembang di wilayah Pati, mengenai kebenarannya kami kembalikan kepada pembaca, Masih terjadi polemik antara cerita rakyat dengan fakta sejarah, ada yang mengatakan bahwa pintu Majapahit adalah rampasan Adipati Pragola I ketika ikut berjuang menundukan Madiun, ada yang bilang bahwa itu rampasan Adipati Pragola II ketika menyerbu Jepara. Sedangkan relief yang ada di Gerbang Majapahit, menggambarkan Kebonabrang (pemberontak majapahit) yang bertempur dengan raden Ronggo.

[8] Konon putra Sunan Muria dengan istri dari Muktiharjo,cerita tutur yang berkembang di wilayah Lereng Muria, tatkala Sunan Muria mau berkunjung ke rumah Rondhosari di daerah Pati. Namun di hari itu ia terhalang oleh sungai yang sedang banjir, ia berdiri ditepi sungai, menunggu sampai surut, namun lama ditunggu sungai tidak surut. Tiba-tiba datanglah seekor kerbau betina ke arahnya dan memberi isyarat agar punggungnya dinaiki, Sunan Muria menangkap isyarat tersebut langsung meloncat ke Kerbau Betina tersebut, dan disebrangkan ke tepi sungai. Sampailah ia ketepian sungai, Karena digoyang-goyang kerbau tersebut, Sunan Muria kebelet pipis. Kemudian ia kencing dari atas tanggul, kerbau betina itu meminum air kencing Sunan Muria sampai habis dengan penuh birahi. Aneh bin ajaib kerbau itu hamil, dan melahirkan seorang anak laki-laki kemudian di asuh oleh Nyai Rondosari. Cerita ini mirip Bambang Aswatama, putra Bambang Kumbayana, yang berada pada cerita pewayangan.

[9] ini mirip cerita Bandung Bondowoso dengan Roro Jongrang, atau kisah Dayang Sumbi dengan Sangkuriang. Namun mengenai Reruntuhan bangunan Majapahit yang diambil oleh penguasa berikutnya, itu terjadi seperti tiang-tiang Serambi Masjid Agung demak yang berasal dari Majapahit.

[10] Mirip cerita Samson-Delailah yang ada di belahan eropa.

[11] ada versi lain yang menyebutkan Bahwa Raden Ronggo putra Bupati Pati. Raden Ronggo yang bergelar Adipati Raden Ronggojoyo Ananta Kusumo.

[12] Perlengkapan yang terjatuh itu ialah ganjel lawang (ganjal Pintu) dari pintu yang dibawanya, maka desa itu dinamakan Jelawang hingga sekarang.

[13]Gerbang Majapahit merupakan rampasan perang yang dibawa Paragola Iidari Tuban ke Pati.

[14] Suro Benggol adalah penguasa setempat yang merupakan masih eyangnya Kebonabrang, dia menceritakan bahwa keduanya sebenarnya masih saudara putra Sunan Muria, maka ia menyarankan supaya tidak usah di bawa ke Juwana atau ke Muria biar disini saja saya yang akan menungguinya.

[15] Versi lain, yang melihat pertarungan itu yaitu Sunan Muria dan ia juga yang melerai pertempuran itu.

[16] Mintomulyo, 1 km dari Juana, di jembatan Sigelap. Ada versi lain bahwa Roro Pujiwati diperkosa sampai mati oleh Raden Ronggo.

[17] bergelar Ki Dwija..

1 komentar: